Jakarta – Mcbrnews
Tak bisa mengelak, selama ini kita bernafas dalam pollutant terutama kita yang sehari-hari beraktivitas di kawasan perkotaan dengan kepadatan lalu lintas tinggi seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Yogya, dll. Kota-kota itu memiliki konsentrasi pencemaran udara tinggi. Jakarta misalnya memiliki rata-rata tahunan konsentrasi parameter PM2.5 mencapai 46,1 ug/m3 sementara standard nasional hanya 15 ug/m3. Atau rata-rata tahunan konsentrasi PM10, 03 dan SO2 (2020) masing-masing mencapai 59,03 ug/m3, 83,3 µg/m3 dan 42,76 µg/m3 yang juga melampaui standard nasional sehingga sering menyebabkan indeks kualitas udara (AQI, air quality indeks) di atas 100 (tidak schat) bahkan di atas 200 (sangat tidak sehat), indeks kualitas udara berkategori baik pada angka 50 (maks). Kajian menunjukkan bahwa transportasi merupakan sumber utama pencemaran udara di kawasan perkotaan.
Tak terhindarkan lagi, dampak kesehatan pun menyergap warta kota dengan sakit/penyakit pernafasan, kanker nasofaring, jantung koroner, dll dengan biaya pengobatan Rp 38,5 T (2010) dan Rp 51,2 T (2016), sehingga berdampak pada deficitnya BPJS Kesehatan yang baru surplus pada 2020/2021 dan diprediksi kembali akan deficit pada 2024.
Selain pencemaran udara, pun krisis iklim kian terasa, ditandai oleh fenomena La Nina atau kebasahan yang ekstream sehingga turun hujan kelewat lebat dan terus menerus, terjadi bencana banjir, tanah longsor, badai dst. Atau sebaliknya terjadi fenomena El Nino alias kekeringan yang ekstream sehingga temperature atmosfer semakin memanas, terjadi kebakaran hutan, tanah puso, gelombang udara panas, dan berdampak pada masa pergantian musim yang mengganggu jadwal bercocok tanam, gagal panen, meluasnya area kawasan endemic penyakit seperti malaria, dst.
Kini saatnya beraksi untuk menurunkan kadar emisi dari setiap aktivitas kita. Untuk melakukan mobilitas, perjalanan dalam keseharian kita harus mengurangi ketergantungan kita pada penggunaan kendaraan bermotor, bisa jalan kaki, bersepeda atau menggunakan angkatan umum masal. Kalau pun tak bisa meninggalkan kendaraan pribadi (mobil maupun sepeda motor), kita bisa bergeser menggunakan kendaraan rendah/zero emisi yaitu mobil atau sepeda motor listrik.
Harga mobil atau sepeda motor listrik masih mahal? Syukurlah akhirnya inisiatif dan dorongan berbagai pihak membuahkan hasil, Pemerintah memberikan insentif untuk kendaraan rendah/zero emisi ini. Di mana sepeda motor listrik yang diproduksi dengan TKDN (Tingkat Komponens Dalam Negeri; local content) minimal 40% mendapatkan insentif fiscal sebesar Rp 7 juta/unit. Welcome subsidi kendaraan listrik.
The next steps, segera mencarikan sumber pembiayaan subsidi kendaraan rendah/zero Carbon ini. Yaitu hasil pengumpulan cukai Carbon yang dipungut dari kendaraan yang tak memenuhi standard Carbon. Dengan skema fiscal seperti ini maka subsidi kendaraan listrik dapat berkelanjutan dan tidak membebani APBN.
Manfaat Investasi Rp 7,8 T pada Insentif Kendaraan Listrik:
1. Menyelamatkan Rp 27,5 hingga Rp 55 T devisa untuk import BBM yang selama ini digunakan untuk memenuhi energi kendaraan konvensional. Beban pasokan BBM harus kita atasi dengan mengurangi impor minyak baik dalam bentuk produk BBM maupun minyak mentah. Adopsi motor listrik, misalnya dengan jumlah 1,2 juta unit serta merta akan menyelamatkan Rp 27,5 T hingga Rp 55 T devisa negara yang selama ini digunakan untuk impor minyak. Subsidi sepeda motor listrik sebesar Rp 7,8 T mampu menyelamatkan devisa negara senilai 3,5 s.d. 7 kali lipat dari total besaran subsidi tersebut.
2. Solusi Beban Biaya Berobat Rp 51,2 T/tahun Akibat Pencemaran Udara. Pencemaran udara di kota-kota yang padat kendaraan sudah sangat menyesakkan dan berdampak pada terjangkitnya sakit/penyakit terkait pernafasan. DKI Jakarta misalnya, warganya harus membayar Rp 51,2 T/tahun (2016) guna berobat atas sakit/penyakit ISPA, pneumonia, bronchopneumonia, PPOK, asma, jantung coroner, kanker nasofaring (Nasopharyngeal carcinoma, NPC), hipertensi, dll. Wajar apabila BPJS Kesehatan sering deficit dan diprediksi akan kembali deficit pada 2024 setelah sempat tidak deficit pada 2020-2021. Ini sangat setimpal, bahwa investasi negara sebesar Rp 7,8 T untuk subsidi sepeda motor listrik ini akan berkontribusi menggerus biaya kesehatan akibat pencemaran udara tersebut.
3. Memitigasi 1,23 juta tonCO2/tahun. Kita tahu angka nasional beban emisi CO2 sepeda motor adalah yang tertinggi di antara moda transportasi jalan raya lainnya yaitu menyumbang 104,2 juta ton/tahun (41%); sementara di JABODETABEK menyumbang 2,6 juta ton (18%) atau tertinggi ke-3 setelah truck dan bus. Nah Rp 7,8 T subsidi motor listrik ini serta merta juga akan memitigasi emisi CO2 hingga 1,23 juta ton/tahun.
Selamatkan Excess Power 36,32 TWh. Selama ini ada tenaga listrik yang tak dapat digunakan (exress power) sebesar 36,32 TWh/tahun, yaitu kelebihan tenaga listrik terutama di malam hari di mana total pemakaian tenaga listrik jauh dari beban puncak yang diproduksi oleh PLN. Padahal excess power ini mampu melistriki sekitar 7,45 unit rumah sederhana dengan daya 900 watt/unit selama setahun penuh. Apabila excess power ini dimanfaatkan untuk menge-charge kendaraan listrik, maka dapat memenuhi kebutuhan energy selama setahun penuh atas operasional 25,4 juta unit sepeda motor, 295,7 ribu unit bus dan 3,7 juta unit mobil.
5. Mengkonservasi 23,27 juta KL BBM. Pemanfaatan excess power dengan adopsi 1,2 juta unit sepeda motor listrik ini menyelamatkan pasokan BBM sebesar 426,6 ribu KL/tahun dengan nilai antara Rp 21,33 T hingga 42,67 T untuk kurun 5-10 tahun. Hal ini berarti penyelamatan 23,27 juta KL. BBM dengan nilai Rp 1.982 T hingga Rp 3.965 T untuk 5-10 tahun yad apabila pemanfaatan keseluruhan excess power ini terealisasi.
Sangatlah sepadan manfaat yang diperoleh atas investasi sebesar Rp 7,8 T untuk mensubsidi 1,2 juta unit sepeda motor listrik ini. Apalagi jika sumber pembiayaan subsidi ini berasal dari cukai Carbon yang dipungut dari kendaraan yang tak memenuhi standard Carbon, sehingga tidak membebani APBN dan tidak pula mengambil porsi subsidi pangan, kesehatan dan pendidikan maupun kebutuan primer lainnya. (Red)