Jakarta, Mcbrnews – 8 Maret 2023.  Dialog kebangsaan Soksi bersama Partai Golkar terkait dengan tema:  “Audit Harta Pejabat Pasca Efek Domino Penganiyaan Putra Pengurus Anshor”, yang laksanakan di Graha Assuryaniyah yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan, yang dimulai pukul.19.00 wib.

Dialog ini diprakarsai oleh:

Dr. Aris Adi Leksono, Sekum PP Persatuan Guru NU / Komisioner KPAI.

Ir. Ali Wongso Sinaga, Ketua Umum Depinas Soksi.

Dr. Ansori Ahmad, MH., MM, Ketua Advokasi dan Hukum PP Pagar Nusa.

Dr. H. KGPH MK. Hasanuddin, Bendahara Umum Depinas Soksi.

HM Nabil, Ketua Umum Yayasan Attahiriyah.

Dr. Ilyas Indra, Sekjen Depinas Soksi. (sebagai moderator).

Dalam pembahasan yang bertemakan “Audit Harta Pejabat Pasca Efek Domino Penganiyaan Putra Pengurus Anshor”, sangat mendukung Audit yang dilakukan, dan diperkirakan Harta yang dimiliki lebih dari 500 M, bahkan berdasarkan informasi yang dapat dipercaya, diterima. Harta yang dimiliki Pejabat pajak tersebut mencapai hitungan Trilyunan Rupiah,” ujar Ir. Ali Wongso Sinaga sebagai Ketua Umum Depinas Soksi.

Pada kesempatan yang sama Ir. Ali Wongso Sinaga juga mengatakan dihadapan para awak media, terkait “Proporsional Terbuka” yang saat ini masih dalam proses PTUN di MK.

“Menurut saya, kita ini sebagai negara hukum. Harus menaati UU, termasuk hakim,” ujar Wongso.

“Jadi kalau persoalannya terkait sengketa proses pemilu (dalam hal ini verifikasi rekrutmen partai politik). Jelas tertulis dalam UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu,  sudah diatur jelas persoalan tersebut, atau sengketa itu diselesaikan bersama bawaslu” lanjut Wongso.

“Bawaslu ini kan sebuah lembaga negara, yang dibentuk berdasarkan UU. Apabila tidak selesai, maka diajukan oleh yang bersangkutan dalam hal ini si partai politik itu, ke PTUN. Dan apapun nanti putusan PTUN itu final dan mengikat,” tegas Wongso.

“Terkait UU, dan dibawa ke Jakarta Pusat. Akan tetapi dikatakan ini bukan sengketa pemilu, tetapi perbuatan melawan hukum, menggugat KPU penjelasan MK, ,” ujar Wongso.

Pertanyaan nya adalah, perbuatan melawan hukum apa, hukum yang mana?

“Menurut saya tetap kaitan nya ke UU pemilu. Jadi kembali pada mekanisme yang sudah di atur di UU itu,” jelas Wongso.

“Nah, kenapa PN Jakpus masih meneruskan perkara tersebut, dan saya katakan; komisi Yudisial harus segera periksa hakim hakim, termasuk kenapa putusan nya yang melampaui wewenang hakim,” ungkap Wongso.

“Siapapun warga negara terikat pada UUD dan UU, jadi hakim tidak bisa membuat putusan yang menabrak UUD. Karena dari awal sudah keliru, sudah salah kamar,” ujar Wongso.

“MK itu Eksistensi nya di UUD dan di UU MK, salah satu tugas pokonya itu adalah mengadili UU yang digugat, apabila UU yang di gugat bertentangan dengan UUD 45 (konstitusi), jadi kalau diadili terbukti bertentangan, maka dibatalkanlah pasal atau ayat yang di gugat itu. Tapi klu tidak terbukti, dia tdk bisa berbuat apa apa, MK hanya mengatakan gugatan di tolak” terang Wongso.

“Sekarang apa yang di gugat:

68 UU 7 thn 2017 yang mengatur bahwa pemilu DPR / DPRD dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Ini dikatakan melanggar UUD 45, siapa bilang? Menurut si penggugat, akan tetapi menurut saya; 9 hakim MK yang mulia ini kan bisa lihat, bisa tahu bahwa sistem proporsional terbuka ini sudah berjalan dan berlangsung sejak tahun 2009, 2014, 2019, dan apakah benar ini melanggar UUD 45? Berarti MK yang memutuskan 2008 yang membatalkan BPP 30% itu yang membuat jadi proporsional terbuka, salah dong? Membuat putusan yang melanggar UUD 45, jadi logikanya kan mana mungkin? (gitu kan?).

Pasal 22E yang di bikin jadi argumen, mengatur bahwa pemilu DPR / DPRD, peserta nya adalah partai politik. Mereka mengartikan sempit, kalau peserta nya partai politik, lalu memilih partai politik dan apa yang dimaui partai politik (kira kira gitu kan?)

“Jadi kita harus lihat UUD itu secara utuh, mulai dari pembukaan sampai ditutup, tidak boleh 1 pasal saja, lalu di tampung, nanti kalau 1 pasal saja, 1 ayat saja, (dengan ilustrasi) kita seperti melihat gajah, moncong nya belalai nya, wah gajah ini kurang panjang (gitu kan), salah dong.

Kita lihat belalai nya, wah ini adalah tipis, salah. harus melihat menyeluruh sehingga benar.

Pasal 1 ayat 2, negara Indonesia ini kedaulatan negara di tangan rakyat, jadi rakyat memegang kedaulatan, dan di ayat 3 negara Indonesia ini negara hukum, kalau kedaulatan di tangan rakyat, maka pasal 22E tidak bisa mengurangi kedaulatan di tangan rakyat, bukan di tangan partai politik, jadi didalam sistem proporsional terbuka itu ada peran partai politik, dan partai politik itu merekrut, mengkader dan menyusun calon legislatif, calon DPRD.

Harus ada namanya disitu baru boleh di pilih, gitu kan di dalam proporsional terbuka, lalu rakyat yang berdaulat memilih nama calon anggota DPR bukan memilih partai. Boleh memilih partai tapi boleh memilih nama, tapi kalau tertutup, tidak ada nama kan, jadi pilih partai, jadi mana yg lebih berdaulat mana yang lebih demokratis, tentu yang terbuka, jadi tidak salah MK memutuskan itu di tahun 2008, dan tidak salah kita melaksanakan pemilu sudah 2009, 2014, 2019 dengan sistem proporsional terbuka. Kalau dikatakan itu melanggar, berarti selama ini kita melanggar.

Kalau hal tersebut dikatakan melanggar, menurut saya, saya pernah di DPR, membahas UU MK. MK itu tidak berwenang membuat norma baru, itu kewenangan DPR berdasarkan konstitusi yang membuat UU hanya DPR.  MK tidak bisa, MK hanya bisa membatalkan atau menolak gugatan, jadi tidak bisa ootomatis bikin tertutup kalau dibatalkan. Jadi perdebatan tertutup dan terbuka ini sebenarnya tempatnya di DPR bukan di MK. Kalau di DPR bisa di debat, itu pernah kita bahas, dan ada lagi di gugat tertutup ada lagi versi versi dan itu kewenangan DPR. Tapi DPR waktu itu tetap pada proporsional terbuka.

Jika MK tetap putuskan tertutup, langkah selanjutnya dari 8 partai ini, dan alternatif lain atau sudah final akan dibuat tertutup?

“Nanti kita dengar pemerintah, apa sikapnya dan pemerintah sendirikan, sikapnya di dalam pengadilan ini (di MK) tegas mengatakan, ini tidak bertentangan dengan UUD 45, saa itu jubirnya; Pak Bachtiar Dirjen Polkum Kemendagri, jika MK masih ngotot, tidak ngerti saya, ungkap Wongso.

“Lalu, mau kemana bangsa ini di bikin? Yang penting apakah dengan terbuka kita akan lebih maju, rakyat lebih sejahtera, itu yang penting. Saya sependapat dan setuju, bahwa terbuka yang ada selama 3 periode ini, khususnya 2 pemilu terakhir, telah membawa akses yang sangat luar biasa, dalam hal ini; politik uang,” ungkap Wongso.

“Politik uang antara calon legislatif dengan pemilih, politik uang antara calon legislatif dengan oknum oknum penyelenggara pemilu, yang bisa memindah-mindahkan suara, hal itu yang disebut “kanibalisme politik”, ini semua menciderai rakyat,” ujar Wongso.

“Lalu ttimbul fenomena orang-orang populer, jadi terpilih, padahal kapasitasnya belum tentu, hal ini sebenarnya, kembali kepada partai, partai itu mestinya dalam menyusun caleg, melakukan kaderisasi lalu dipasangkan,” lanjutnya.

“Tapi namun demikian, kita harus perangi money politik, kita harus tegakan hukum. Jadi dalam hal ini, sistem proporsional terbuka; demokratis akan bagus, apabila disertai penegakkan hukum dan pendidikan politik rakyat, supaya rakyat makin cerdas makin dewasa memilih bukan berdasarkan uang tapi berdasarkan integritas dan kapasitas, dari mana dia tau, dari track record, bagaimana bisa tahu track record? Di buka google saja orang sudah tahu, atau tanya sana sani, gitu,”ujar Wongso.

“Jadi bawaslu menjadi penting, jangan bawaslu tangkap lalu 86 (damai), itu kacau..

Sebab, orang yang terpilih karena uang itu berbahaya, umumnya akan mencari pengembalian pengembalian, dan pengembalian itu sudah pasti arah nya menyalahgunakan kekuasaan, jika kalau kalau ada UU tadi, maka berat karenaada sanksi, tutup Wongso

 

By admin

Tinggalkan Balasan